Sabtu, 02 November 2013

Tiga Minggu Setelah Kepergianmu



Selama hampir tiga minggu setelah kamu memutuskan hubungan denganku. Aku masih sulit untuk menjalani hari-hari ini tanpamu. Aku masih terlihat baik-baik saja meskipun kamu tak lagi sering memberitahu kabarmu. Tapi, tidak munafik jika dalam rentan waktu tanpamu, aku masih sering merindukanmu.

Kamu masih menjadi sosok yang penting di kepalaku. Kamu masih menggenggam hatiku. Aku sedang berupaya lepas darimu. Sudah hampir tiga minggu aku menghela nafas, berharap kenangan kita tak lagi membuatku merasa perih, yang masih belum bisa kuterima. Mengapa kau pergi disaat aku sedang cinta-cintanya?

Seperti biasa, aku (berusaha keras) terlihat bahagia juga baik-baik saja. Aku tak tahu apakah selama ini kamu juga merasakan apa yg aku rasakan. Aku juga tak tahu apa kamu merasakan rindu sedalam yang ku rasakan. Kita saling tak tahu, seperti aku yang tak pernah tahu bagaimana sesungguhnya perasaanmu.

Dulu, aku sempat melihat cinta dimatamu, Sayang. Aku melihat dunia yang belum pernah aku singgahi, aku terjebak dalam bayang-bayangmu, dan aku tak mampu lagi menghindar pergi. Aku berhenti pada sosokmu, sementara ketika aku mulai ingin membangun segalanya bersamamu, kamu malah pergi. Kamu sudah membawa aku berjalan terlalu jauh. Aku percaya bahwa kamu akan menemaniku sampai perjalanan kita selesai, tapi ternyata kamu tidak menemaniku.

Sekali lagi aku katakan, melupakan tak akan pernah mudah. Merelakan yang pernah ada menjadi tidak ada adalah kerumitan yang belum tentu kautahu rasanya. Aku menulis ini saat aku terlalu lelah dihajar kenangan. Mengapa di otakku kautak pernah hilang barang sedetik saja? Perkenalan kita terlalu singkat untuk disebut cinta dan terlalu dalam jika disebut ketertarikan sesaat. Aku tak tahu harus diberi nama apa kedekatan kita dulu. Aku tak mengerti mengapa aku yang tak mudah tergoda ini malah begitu saja terjebak dalam perhatian dan tindakanmu yang berbeda. Kamu sangat luar biasa di mataku, dulu dan sekarang tetap sama.

Dan, aku masih menangisi juga menyesali yang sempat terjadi. Bertanya-tanya dalam hati, mengapa semua harus berakhir sesakit ini? Apa tujuanmu menyakitiku jika dulu kita pernah menjadi belahan jiwa yang enggan saling melepaskan? Aku tak tahu sedang berbuat apa kamu di sana. Aku tak lagi tahu kabarmu. Segala ketidaktahuanku mengantarkan perasaanku pada perasaan asing, rindu yang semakin hari semakin berontak. Rindu yang meminta pertemuan nyata. Rindu yang memaksa dua orang yang sekarang berjauhan untuk kembali berdekatan.

Aku benci harus mengakui ini. Aku sering merindukanmu dan memendam perasaanku. Tersiksa dengan angan sendiri, mengiris hati dengan kemauan sendiri. Aku ingin mengaku (dengan sangat terpaksa) bahwa aku masih mencintaimu dan berharap kamu kembali, walaupun hanya untuk menenangkanku dan berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar