Hujan selalu menyimpan tanda tanya. Kadang, hujan bisa juga menjadi jawaban. Dia
membisu, datang malu-malu, tanpa isyarat dan kata, tiba-tiba dia
mengguyur saja sesukanya, seenak hatinya. Seringkali hujan
disalahartikan sebagai pembawa duka, sebagai sebab seseorang mengingat
kenangannya, sebagai terdakwa yang menyebabkan seseorang takut akan
takdirnya. Hujan buatku adalah penenang dalam kerinduan, pembawa air mata, dan pengingat rasa kehilangan. Selalu saja, sesuatu yang harus seseorang lupakan adalah sesuatu yang justru jauh tersimpan begitu dalam, kenangan.
***
Seorang laki-laki sederhana. Senyumnya menyimpan banyak tanda tanya,
tatapannya mengganggu laju kerja otak, dan gerak-geriknya memaksaku agar
tidak melewati setiap inci perpindahannya.
Lalu,
semua terjadi begitu saja. Saat sapa lembutnya menjaring nyata
menyentuh gendang telinga, saat percakapan kecil yang tercipta berubah
menjadi deretan narasi nyata, aku dan dia, mengalir, begitu saja,
seperti curah lembut hujan yang jatuh ke permukaan. Sederhana sekali, cinta memang selalu menuntut kesederhanaan.
Dia mengajariku
banyak hal. Cara menikmati hujan disetiap tetesnya, cara tertawa dalam kesedihan, cara
menghargai, dan cara bermimpi walau dalam kemustahilan.
Seringkali
aku menatapnya dalam-dalam, menyelami sejuk matanya, tercebur dalam
hatinya, lalu terpeleset dalam aliran darahnya. Aku sangat ingin menjadi
bagian dalam setiap detak jantungnya, aku ingin ikut berhembus saat
helaan nafasnya. Tapi, apa semua ingin dan harapku akan menyentuh
kenyataan? Inilah yang disebut mimpi, selalu terlalu tinggi.
Tahu-tahu, sosoknya menjadi sangat penting dalam setiap bangun pagi hingga tidur malamku. Sedetik, semenit, sejam, seharian, hanya
dia saja yang begitu rajin menghampiri otakku. Aku ragu kalau dia tak
punya kerjaan lain selain mengganggu pikiran dan imajinasiku.
Ah, kala itu, cinta
tak lagi menjelma menjadi sesuatu yang sederhana, berangsur-angsur
tingkatannya berbeda, hingga ia menjelma menjadi dua kata, luar biasa.
Perasaan itu tak lagi sekadar teman biasa, tapi dia berevolusi menjadi
lebih dari teman biasa.
***
Ternyata! Hujan masih jadi peran antagonis, dia kembali mengingatkanku padamu! Kamu yang beberapa bulan ini meninggalkanku, pergi begitu saja, tanpa isyarat dan pengungkapan.
Ah...
berdosakah aku kalau masih saja memikirkanku? Empat bulan lalu, hanya kau
saja yang mengajariku menghargai rintik hujan, menghargai deras
rindunya, menghargai butir-butir kenangan halusnya.
Hujan
kali ini, di sepotong malam yang dingin, benar-benar mengingatkanku pada
rasa kehilangan, tentu saja rasa yang begitu dalam. Hilang? Saat
aku berniat untuk mencari, pasti aku akan menemukan. Tapi, bagaimana aku
bisa mencari orang sepertimu? Di mana aku bisa menemukan seseorang yang
mau berjanji untuk tidak meninggalkanku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar